Hanya Dia yang Lahir di Tombak Ulu Darat Dibuatlah Namanya ‘Si-Naga’

Pemandangan Danau Toba
Marcopolo Pos

Hariara Maranak Urat: Syahdan, Limbong Mulana sangat murka mengetahui perbuatan  ‘na so uhum na so adat’ abangnya Saribu Raja dengan itonya Siboru Pareme. Tapi menyadari takdirnya adalah sebagai anggi, maka ekspressi kemurkaannya itu tidak mungkin dilakukan secara terbuka. Maka dibuatnyalah parrapotan sepihak dengan 2 orang adiknya Sagala Raja dan Limbong Mulana terhadap sanksi yang akan diberikan atas perbuatan itu. Kesimpulan parrapotan adalah menjauhkan sanksi kepada sang abang Saribu Rja dan juga sang ito Boru Pareme.

Sesuai adat yang berlaku, bentuk hukuman bagi mereka yang tinggal jauh dari tepi pantai adalah ‘membuang’ ke harangan. Sedang yang tinggal di seputaran  tepi pantai, ‘dinong-nong’ ke tengah Danau Toba. Karena keluarga turunan ke tiga dari Op Si Raja Batak ini tinggal jauh dari tepi pantai, maka hukuman bagi Saribu Raja dan Boru Pereme sudah tentu dibuang ke hutan.

Waktu itu, harangan pembuangan yang disepakati adalah harangan Ulu Darat, yang saat ini masuk menjadi kawasan Kecamatan Sitiotio, Kabupaten Samosir. Ada pun Ulu Darat ini, sesuai mitologi masyarakat Batak Toba, adalah tempat bermukimnya penjaga alam semesta yang bernama Naga Padoha.

‘Penghianatan’ Pertama Lau Raja

Sayang, ketika sehari jelang hari-H eksekusi hukuman, Saribu Raja ternyata secara diam-diam telah melarikan diri dari Huta Sigulatti Sianjur Mula-mula. Sebagaimana yang dikisahkan, dia pergi menuju Sorkam Barus, Tapanuli Tengah. Maka dari itu, hukuman pembuangan badan tidak bisa dilaksanakan sebagaimana dengan yang telah diputuskan dalam parrapotan.

Tidak dengan Si Boru Pareme. Mungkin sudah ditakdirkan oleh Ompu Mulajadi Nabolon, eksekusi itu dia terima dan jalani dengan menjalani takdirnya hidup seorang diri di hutan keramat Ulu Darat. Jadi hanya Siboru Pareme sendiri yang menjalani eksekusi itu, dengan para eksekutornya adalah ketiga itonya, yang selanjutnya sesuai uhum paradaton menjadi hula-hulanya.

Maksud dan tujuan penjatuhan hukuman yang dijatuhkan oleh Limbong Mulana cs terhadap  Saribu Raja dan Si Boru Pareme adalah untuk ‘memutus’ generasi bagi mereka yang telah membuat aib. Pandangan adat waktu, bagi mereka yang melakukan ‘na so uhum na so adat’ adalah tidak punya hak lagi untuk hidup. Atau minimal, mereka para pelanggar adat itu, tidak punya hak lagi hidup bersama dengan masyarakat adat yang dilanggar aturannya itu. Mengantar Si Boru Pareme ke Ulu Darat adalah sebagai simbol agar dia hidup dalam masyarakat lain. Tidak dengan masyarakat yang ada di Sianjur Mulamula.

Kepergian Saribu Raja dari Sigulatti Sianjur Mula-mula sehingga terbebas dari hukuman ‘untuk tidak menjadikannya manusia’ sebenarnyabukanlah serb kebetuln. Diriisah-kisah yang ada, dieritakan bahwa hal itu bisa terjadi akibat solidaritas parmudaron dari adik bungsuya si Lau Raja, Sebagamaa kisahkan, begitu Si Lau Raja slesai mengikuti parrapoton dengan kedua abangnya Limbong Mulana dan Sagala Raja, lalu hasil rapat itu dia sampaikan kepada abang sulungnya Si Raja Lontung.  Secara logika, kepergian Si Raja Lontung tentulah sebagai akibat dari  ‘turut campur tangan’ si Lau Raja dengan memberitahukan hasil rapat itu. 

“Missat ma ho Abang sian huta on, ala sogot naeng mambahen panguhuman do hami tu ho ala ni pangalahom i...”, demikianlah kira-kira kalimat yang disampaikan si Lau Raja tatkala dia secara sembunyi-sembunyi menjumpai abangnya si Saribu Raja, hanya untuk menyampaikan hasil rapat tadi itu.

Sesuai yang dikisahkan di atas, memang hanya si Boru Pareme tidak ikut menjalani eksekusi hukuman. Peristiwa lolosnya Saribu Raja dari eksekusi hukuman, patut dicatat sebagai tidak loyalnya Si Lau Raja kepada kedua abangnya Limbong Mulana dan Sagala Raja. Dalam cerita selanjutnya, sikap ketidak loyalan ini juga terlihat manakala dia juga secara diam-diam datang ke Ulu Darat tentang rencana mereka untuk melakukan tindakan terhadap kelahiran berenya Si Raja Lontung.

Menyuruh ‘Mangaririt’ Pariban
 
Bahwa apa yang menjadi tujuan dari eksekusi, ternyata tidak seperti yang diharapan. Ulu Darat sebagai hutan keramat, yang menjadi tempat Naga Padoha dan juga berbagai binanatang buas lainnya, tidak membuat hidup Si Boru Pareme menjadi berakhir. Malah dalam perjalanan waktu, buah dari perbuatannya dengan ito-nya Saribu Raja, pada saatnya lahir dengan selamat ke bumi. Anak yang lahir itu lalu diberi nama Si Raja Lontung.

Mengikuti konsep ke-Kristenan, kalau memang Tuhan sudah berkehendak, maka apa yang menjadi keinginan manusia hanya akan menjadi keinginan belaka. Keiginan para adik-adiknya untuk memutus aib akibat perkawinan sedarah, tidak dikehendaki yang Maha Kuasa dengan lahirnya seorang bayi dari rahim si Boru Pereme.

Kisah selanjutnya Si Raja Lontung pun tumbuh menjadi pemuda dewasa. Dan tibalah pada dirinya untuk mencari pasangan hidup. Si Boru Pareme, ebagai seorang manusia yang lebih dahulu mengalami siklus hidup itu, ternyata telah siap dengan kenyataan yang ada pada anaknya. Maka kepada anaknya, soal keinginannya untuk mencari pasangan hidup itu, dititahkan sebuah konsep berdasarkan skenario yang telah disipakan sebelumnya. Inti dari konsep itu adalah dengan menyruh anaknya Si Raja Lontung mengunjungi kampung halaman tulangnya, yang juga kampung halaman Si Boru Pareme, Huta Sianjur Mulamula. Sebagai yang memahami betul atas segala peristiwa yang dijalani, maka tentulah Si Boru Pareme telah menyiapan satu skenario yang matang.

“Molo na ido pangidoan ni tondim dohot dagingmu Amang, laho ma ho tu huta ni Tulangmu di Sianjur Mulamula,” ujar Boru Pareme kepada anaknya Saribu Raja saat melepas kepergian sang anak. Bahwa seluruh konsep yang telah disusun tentulah mengenai secara detail dan rinci tentang rute perjalanan yang harus dilalui, situasi tempat dimana nantinya anaknya itu bertemu dengan putri pamanya. “Annon dung sahat ho di inganan na hudokkon on, na ikkon jumpang do ho dohot paribanmi” lanjutnya.

Maka berangkatlah Raja Lontung sesuai apa yang diterangkanbunya tersebut. Di sisi lain, selepas kepergian anaknya, Si Boru Pareme segera menghias diri secantik mungkin karena dia juga harus menuju tempat yang dituju anaknya. Akibat dari penampilan yang demikian, maka siapa pun yang melihat penampilannya saat itu, tidak menduga bahwa dia adalah Si Boru Pareme ibunda Si Raja Lontung.

Merancang agar lebih dahulu tiba di tempat yang dituju, rute yang ditempuhnya pastilah lebih singkat dibanding yang ditempuh oleh Saribu Raja. Karena sudah diskenarioan olehnya bahwa dia akan lebih dahulu mencapai tempat yang dituju, Dan itu dilakukan dengan cara melalui jalan yang lebih dekat. Dan ketika Raja Lontung tiba di tempat yang dikatakan oleh ibunya, dia telah melihat ‘paribannya’ dengan tampilan yang sangat mempesona. Dia tida tahu bahwa yang dilihatnya adalah ibunya. 

“Di dokhon dainang pangintubu, ai ho do ninna boru ni da tulang,” ujar Raja Lontung, ketika dia telah menghampiri orang yang dimaksud, seraya menjelaskan bahwa ibunya berasal dari kampung tersebut.

“Molo i do maksudmu pariban, ba toho do na ni dongkon mi. Au do boru ni tulangmi, songon tona ni inongmu ima namborukhi,” jawab wanita yang ditemui Si Raja Lontung itu.

“Ai tona ni dainang, ikkon sian inganan on do boanonhu  tu bagas nami, ima nanaeng patandahononhu ho tu dainang,” kata Si Saribu Raja tentang niatnya untuk membawa wanita itu dari tempat dimana mereka bertemu itu.

‘Penghianatan‘ Kedua Lau Raja

Tidak ada kisah secara detail yan menceritakan tentang sikap Raja Lontung tatkala kembali e rumahnya di Ulu Darat bersama pariban-nya itu, tatkala tidak pernah lagi melihat keberadaan ibunya. Terhadap itu, pastilah itu bisa terjadi atas peranan ‘paribannya’ yang tiada lain adalah ibu kandungnya, dalam memberi pengaruh terhadap sikapnya. Sebagai seorang ibu kandung, dan saat itu menjadi istrinya adalah tidak susah baginya untuk tidak mempersoalkan itu.

Cerita selanjutnya adalah mengenai ketika Boru Pareme akan melahirkan anak pertamanya. Tentang keadaannya yang akan segera melahirkan, ternyata sampai juga ke tempat para hula-hulanya di Sianjur Mulamula. Dengan fakta ini, bagi hula-hulanya, bahwa apa yang dititahkan adat yaitu memutus generasi dari mereka yang melakukan na so uhum na so adat, harus diteruskan.

Mengetahui Boru Pareme akan melahirkan anak, yang artinya itu adalah ‘pelanggengan aib’ dari perbuatan ‘na so uhum na so adat’ , mereka pun bersepakat untuk datang ke Ulu Darat. Tujuannya sudah jelas: Menuntaskan titah uhum, yaitu memutus aib agar tidak berlanjut. Apa lagi itu kalau tidak ‘mebinasakan’ anak yang akan dilahirkan Boru Pereme?

Sayangnya, ketika hari-H pelaksanaan uhum ini dilakukan, keluarga ito mereka ini sudah tidak ditemukan lagi di Ulu Darat. Ketika Boru Pareme melahirkan anak yang dikandungnya, secara diam-diam si Lau Raja mendatangi itonya itu di Ulu Darat dan menyampaikan tentang rencana mereka akan datang untuk meberikan panguhuman lanjutan. “Laho ma hamu Ito dohot hamu bere sian ingananan on, ala dang piga ari nai, na ikkon ro do hami mandalanhon panguhuman tu hamu,”

Benar saja, ketika hari-H penghukuman itu dilakukan, Limbong Mulana bersama kedua adiknya itu, tidak lagi menemukan Boru Pareme, Raja Lontung dan anak yang baru dilahirkan itu. Sesuai pesan Lau Raja, mereka bertiga telah meninggalkan Ulu Darat, sebelum hari penghukuman dilakukan.
Ulu Darat Tempat Naga’ Padoha

Mengetahui orang yang dicari telah pergi meninggalkan tempat itu, Limbong Mulana dan kedua adiknya lalu berupaya mencari tahu kemana kepergian orang yang dimaksud. Karena mereka yakin bahwa orang yang di cari pergi ke arah sebelah bawah Ulu darat (saat ini disebut: Sabulan), lalu mereka pun bergerak menuju Sabulan.  Anehnya, dai cerita-cerita yang ada, saat mereka menuju tempat di bawah ini, diperlukan waktu selama satu bulan. Padahal, disamping jaraknya tida jauh, juga jalan yang ditempuh adalah menurun.

Tetapi sebelum mereka menginjakkan kaki di Sabulan, lagi-lagi orang yang dicari sudah tidak diketemukan. Dari kisah yang ada, saat situasi krisis yang dihadapi Si Boru Pareme atas kedatangan hula-hulanya, mereka secara ajaib diseberangkan oleh satu kekuatan daru Sabulan ke Ulu Darat.Dan begitu mereka tiba di Hariara Maranak saat ini, Si Raja Lontung Mencapkan tongkatnya dengan memanjatkan doa agar ompu Mulajadi Nabolon memberi kesehatan dan perlindungan bagi keluarga mereka untuk tinggal di tempat itu.

Bila dirunut dari seluruh rangkaian kisah di atas, maka saat Si Raja Lontung dan Boru Parema memutuskan tinggal menetap di Hariara Maranak, hanya satu orang anak yang mereka miliki saat ‘terusir’ dari Ulu Darat, tempat ‘Naga’ Padoha itu. Dengan berdasarkan fakta-fakta tempat dan peristiwa dari kisah yang ada, bukankah putra-putri Si Raja Lontung dan Si Boru Pareme yang lain tidak pernah terlahir di Ulu Darat dan mau pun Sabulan?

Maka, sebagai bukti dan tanda bahwa anak pertama Si Raja Lontung dan Si Boru Pareme dilahirkan di Ulu Darat, dibuatlah namanya ‘Si-Naga’, merujuk kepada nama ‘penghuni’ tempat itu: Naga Padoha. Dengan demikian, pembuatan nama anak sulung Si Raja Lontung itu dengan nama ‘Si-Naga’ adalah sebagai kenangan atas tombak Ulu Darat, tempat kelahirannya. Saya yakin, dengan menyimpulkan fakta-fakta tempat yang ada dalam kisah, hanya Sinaga-lah anak Si Raja Lontung dan Si Boru Pareme yang dilahirkan di Ulu Darat. Ada pun putra-putri yang lain, dengan mencermati cerita itu, tidak dilahirkan di Ulu Darat atau pun di Sabulan. (Minar Green)
Share on Google Plus

About Unknown

Marcopolo Pos media online Pemberani dan Tangguh.